Article

Latest Posts

MATAKU LURUS KE DEPAN

Alkisah, kurang tahun 1900 M, hiduplah seorang Raja Babilonia yang sangat bijaksana, arif dan penuh dengan pemikiran-pemikiran strategis untuk memajukan kerajaannya. Hampir semua rakyat sangat menyenanginya, sekalipun ada sebagian rakyat tidak terlalu senang dengan kebijakannya, terutama mereka yang selama ini melakukan pelanggaran. Perimbangan antara apresiasi untuk rakyat yang berjasa dengan hukuman bagi mereka yang berbuat salah sangat maksimal., Sehingga dimata rakyat, raja ini juga terkenal dengan keadilannya. Setiap pegawai yang di tempatkan dalam kerajaannya betul-betul dipilih berdasarkan kompetensinya, dan tidak sekedar uji coba jabatan semata-mata. Visi dan Misinya jelas, sehingga semua kebijakan yang di ambil, termasuk pengelolaan SDM (pegawai) mengacu kepada implementasi Visi dan Misi, serta terukur dengan jelas (berbasis KPI – Key Performance Indicator).
            Namun demikian, sehebat-hebatnya seseorang memimpin, suatu kali jatuh juga. John C. Maxwell mengatakan bahwa : di dunia ini tidak ada yang lenggeng. Demikian pula dengan Raja Babilonia ini, dia jatuh ke tangan musuh. Bahkan sebagai tahanan, dia diperlakukan dengan kejam dan sangat tidak sesuai dengan perlakuan pada umumnya kepada tahanan, yang adalah raja yang di jajah. Atas perlakuan yang diterimanya, raja Babilonia ini tidak melawan, dan tetap menunjukkan kesantuannya. Tibalah harinya untuk melakukan hukuman terhadap raja ini beserta pengikutnya. Musuh melihat ketegaran hati sang raja, sehingga ada berbagai macam pilihan hukuman yang dipikirkan sebagai alternative untuk dilaksanakan. Jika hukuman gantung, begitu mudahnya, sementara untuk hukuman di bakar, rajapun tetap tegar. Maka dipilihlah hukuman yang unik, yakni membawa minyak panas dengan cara di pikul sambil setengah telanjang di hadapan rakyatnya., Benar-benar hukuman yang memalukan. Maka komandan musuhpun memanggil sang raja yang sudah di lucuti sebagian besar pakaiannya, serta di hadapan rakyatnya, sang komandan berkata kepada raja tawanan ini : “Wahai kau raja yang di cintai rakyatmu, kini engkau dalam kekuasaanku. Jinjinglah minyak panas ini ke pundakmu, dan berjalanlah melewati jalan ini menuju ujung jalan sana. Di sebelah kiri kanannya adalah rakyatmu sendiri, yang kiri adalah rakyatmu yang selama ini membecimu, sedangkan yang di sebelah kanan, rakyat yang mencitaimu. Jika engkau menoleh ke salah satu : kir atau kanan, maka otomatis minyak panas itu akan tumpah dan engkau akan ku bunuh beserta rakyat yang ada di sebelah lawan engkau menoleh. Engkau menoleh ke kiri, maka rakyat yang di sebelah kanan saya bunuh, engkau menoleh ke kanan, maka rakyat yang  di sebelah kiri akan saya musnahkan.”
            Siang hari yang panas, hukumanpun di mulai. Sang Raja dengan menjinjing minyak yang panas mulai berjalan, makin cepat dan terus tanpa menoleh dia melakukannya. Sedangkan di sebelah kiri kanan-nya, sorai sorai rakyatnya menyemangatinya untuk berlari, sementara di sebelah yang lain terus mencemoohnya. Namun sang raja tetap terus berlari tanpa menghiraukan penonton yang ada di sebelah kiri kanannya. Hingga tibalah dia di ujung lintasan, tanpa menderita luka sedikitpun, yang artinya seluruh minyak panas masih utuh dalam jinjingannyanya.
Lalu sang komandan memanggil raja tawanan ini dan bertanya kepada dia : “Hai engkau raja yang tegar, apa yang membuatmu bisa sampai ke tujuan, padahal selama ini saya menyaksikan tidak ada yang pernah berhasil melaksanakan hukuman ini. Bukankah, di sebelah kiri – kananmu adalah rakyatmu sendiri, ada yang mengapresiasi dan ada pula yang mengkoreksi ?” Jawab raja tertawan ini dengan rendah hati suara lembut : “Memang saya mendengar sorai sorai, gemuruh suara rakyat saya, ada yang memberi semangat da nada pula yang mengejek,. Namun ketahuilah bahwa saya lebih tertarik untuk melihat ke depan, karena di situlah tujuan saya.”. Mendengar ucapan raja ini, tertegunlah hati sang komandan, dan akhirnya tidak jadi hukuman mati, melainkan hukuman penjara saja, hingga penjajahan selesai beberapa bulan mendatang