Pada tahun 1989 terjadi gempa bumi yang dasyat berkekuatan 8,2 skala richter di daerah Armenia, yang memporakporandakan seluruh yang ada di sana. Gempa ini sangat hebat, sehingga telah menewaskan 30.000 orang hanya dalam waktu empat menit !
Di tengah-tengah kepanikan akibat gempa, seorang anak bergegas menuju gedung sekolah tempat anaknya mengikuti pendidikan sehari-harinya. Dengan perasaan tidak menentu, dia meninggalkan rumah dengan harapan bahwa dia masih bisa menemukan anaknya dalam keadaan selamat. Ketika dia tiba di sana, dia mendapati sekolah anaknya sudah rata dengan rata dan seperti kue yang hancur di lempar berantakan. Hatinya hancur, dan mulai dia menangis tersedu-sedu membayangkannya anaknya yang tewas di timpa reruntuhan gedung. Namun, pada saat yang bersamaan dia teringat akan janjinya, sewaktu mengantar anaknya ke sekolah tadi pagi. Dia sempat mengatakan : “Mad (nama anaknya : Armad), kau tetap tunggu di sini ya. Apapun yang terjadi, jangan kemana-mana. Ayah pasti datang untuk menjemputmu !” Kata-kata ini yang membangkitkan semangat sang ayah, bahwa kemungkinan besar anaknya mendengar kata-katanya, dan ini memberikan harapan baru bagi sang ayah bahwa anaknya masih hidup.
Dia mulai mengingat-ingat kembali, kira-kira gedung kelasnya dimana dan di gedung sebelah mana. Dia memastikan bahwa gedung kelas anaknya ada di sudut bangunan kelas dan dia ingat betul di sana ada gudang bawah tanah, tempat penyimpanan barang-barang sekolah yang sudah tidak terpakai lagi. Lalu, dia bergegas menuju ke sana dan mulai mengggali reruntuhan dengan menggunakan tangannya. Beberapa orang tua murid yang melihatnya mulai pesimis dan melontarkan kata-kata yang tidak menyenangkan di dengar. Bahkan ada yang mengatakan dia stress karena anaknya ditimpa reruntuhan. Dengan tegas dia mengatakan : “Ini, anakku, apakah anda mau bantu atau tidak ?’ Lalu merekapun mundur dan membiarkan ayah ini mencari anaknya. Kemudian datanglah tim regu pemadam kebakaran , mengatakan : “Pak, kami mengerti keadaanmu, dan empati kami untuk anakmu. Namun berdasarkan pengalaman kami selama ini, dalam kedasyatan gempa sebesar ini, sudah dapat dipastikan tidak ada yang selamat. Sudahlah, kembali ke rumahmu, biar kami yang akan menyelesaikannya.” Mendengar hal tersebut, sang ayah dengan tenang mengatakan : “Kalian mau bantu atau tidak !”. Lalu dia terus menggali kembali untuk mencari anaknya. Rupanya sudah ada beberapa orang tua murid yang melaporkan sang ayah ini kepada pihak kepolisian, dan khawatir sang ayah mengalami gangguan kejiwaan, maka polisi pun datang dan menemui sang ayah : “Jika anda dalam keadaan marah dan sedih mohon jangan dilanjutkan. Pak, biar kami yang akan menangani, ini wilayah kepolisian daerah ini, pulanglah biar kami antar !”. Lalu sang ayah, dengan tegas mengatakan : “Sekali lagi, kalian mau bantu atau tidak !”. Polisipun mundur sambil mengawasi si pria ini dalam mencari anaknya.
Sang ayah ini terus menggali sambil ingin memastikan bahwa anaknya masih hidup. Pengharapan inilah yang memberikan semangat terus menerus untuk menarik dan mengangkat batu demi batu.
Dia terus menggali 12 jam, lalu 36 jam, dan kemudian jam yang ke-38, dia menarik sebuah batu besar dan kebetulan ada celah di sana , lalu berteriak memanggil anaknya : “Armad…!”. Belum terdengar apa apa. Lalu dia memanggil lagi nama anaknya sambil mengetok-ngetok batu dan kayu yang ada di sana. Tiba-tiba terdengar sahutan dari bawa reruntuhan : “Ayah…, ini aku, Armad. Ayah di mana ?” Mendengar jawaban itu, sang ayah semakin bersemangat menggali dan terus menggali hingga dia bisa melihat anaknya bersama dengan anak-anak yang lain dalam keadaan lemah dan ketakutan. “Apa yang terjadi di sana. Bagaimana keadaan kalian di bawa sana ?” Tanya si ayah penuh semangat. “Kami hanya 14 orang yang selamat, dan saya selalu terus menerus mengatakan kepada teman-temanku bahwa ayahku pasti datang – ayahku pasti datang. Sekarang, biarlah teman-temanku yang ayah selamatkan dahulu, aku yang terakhir saja. Karena ku tahu ayah pasti datang untuk mengangkatku !” Lalu regu penyelamatpun datang menyelamatkan mereka, demikian pula orang-orang tua murid yang tadinya sudah putus asa.